Text
Mosi Integral Natsir 1950
Mosi ini tidak lahir begitu saja. Terjadinya perdebatan di Parlemen Sementara Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah merupakan titik kulminasi aspirasi masyarakat Indonesia yang kecewa terhadap hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, 23 Agustus - 2 November 1949.
Dalam pengajuannya ke parlemen banyak yang menolak. Pihak yang termasuk menolak hasil KMB adalah Natsir yang waktu itu Menteri Penerangan (Menpen) dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Natsir menolak jabatan Menpen dan memilih berkonsentrasi memimpin Fraksi Masyumi di DPR-RIS. Salah satu alasan Natsir menolak jabatan itu adalah karena ia tak setuju Irian Barat tak dimasukkan ke dalam RIS.
Perdana Menteri (PM) RIS Mohammad Hatta menugaskan Natsir dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan lobi untuk menyelesaikan berbagai krisis di daerah. Pengalaman keliling daerah menambah jaringan Natsir. Selain itu, kecakapannya berunding dengan para pemimpin fraksi di Parlemen RIS, seperti IJ Kasimo dari Fraksi Partai Katolik dan AM Tambunan dari Partai Kristen, telah mendorong Natsir ke satu kesimpulan, negara-negara bagian itu mau membubarkan diri untuk bersatu dengan RI—asal jangan disuruh bubar sendiri.
Lobi Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan pendekatannya ke daerah-daerah lalu ia formulasikan dalam dua kata ”Mosi Integral” dan disampaikan ke Parlemen 3 April 1950. Mosi diterima baik oleh pemerintah dan PM Mohammad Hatta menegaskan akan menggunakan mosi integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.
Buku Mosi Integral Natsir 1950 ini menjadi menarik karena sedari awal sudah memulai menggelitik tentang keracunan penggunaan terminologi politik dalam setiap pembicaraan mengenai negara kesatuan maupun negara federal dengan menggunakan istilah bentuk negara. Sebagai contoh banyak pejabat negara yang dalam pidatonya selalu mengatakan bahwa bentuk negara kita adalah Negara Kesatuan.
Apakah penggunaan kata bentuk itu sudah tepat dalam menerangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?. Dengan demikian maka mendudukan istilah "bentuk" tersebut diharapkan tidak akan menambah kerancuan dalam pembahasan mengenai konsep Negara Kesatuan RI. Oleh karena itu, penulis dalam buku ini mengingatkan jauh-jauh hari untuk mencegah terjadinya kerancuan penggunaan kata "bentuk" maka perlu dibedakan dalam penempatannya.
B02757 | 922 MUR m | Perpustakaan STIQ Isy Karima (Rak 900) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain