Text
Biografi Muhammad Natsir Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan
Mohammad Natsir hidup dan pribadi sederhana dan jauh dari kecintaan terhadap harta dan benda. Dia tidak mau "menghabisi" orang-orang yang sepaham dengannya, dengan menghalalkan segala cara. ia berpolitik dengan kata-kata sopan dan sepantasnya tanpa menimbulkan ketersinggungan pribadi.
"Beliau tiga kali menjadi Menteri Penerangan, dan sekali menjadi Perdana Menteri. Memimpin Masyumi, berjuang melalui PRRI melawan sentralisme yang didukung PKI, dan karena itu habis-habisan direpresi. Mosi integralnya mengukuhkan NKRI. Kesederhanaan beliau tampak ketika menjadi Menteri : Jasnya bertambal, mobilnya DeSoto tua berwarna kusam, bersih dan tertib dalam lalu lintas keuangan. Betapa kita rindu pada cahaya kilau kemilau Pak Natsir.'
-Taufik Ismail, Penyair dan Budayawan
“Berapapun orang menulis tentang nama Mohammad Natsir, 70 tahun, 80 tahun, atau 100 tahun, beliau makin hidup. Maka sepatutnya, umat Islam khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya, banyak belajar dari beliau. Dalam bidang pendidikan, politik, masalah-masalah keislaman, beliau multi talenta. Sekali lagi, beliau tidak akan mati. Saya mengagumi beliau, dan sampai hari ini saya masih belajar pada beliau.”
-Prof. Dr.Ir.H.A.M Saefuddin, Ketua Pembina Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII).
"Rasanya sudah tidak diperlukan lagi uraian mengenai Mohammad Natsir -- meski hanya sehalaman dua halaman. Karena memang sudah banyak buku yang ditulis tentang sosok banyak buku yang ditulis tentang sosok politisi, negarawan, dan pendidik muslim yang berintegritas ini. Tapi karya Lukman Hakiem ini pengecualian. Eksepsional sebab ditulis dengan keseimbangan pikir dan batin yang luar biasa --usaha yang tidak mudah untuk memadukan fakta dan interpretasi, kritik dan penghargaan dalam soal subyek utama karya besar ini."
—Prof. Dr. Bahtiar Effendy, Dosen Fisip UIN Jakarta
“M. Natsir hidup dan pribadinya sederhana dan jauh dari kecintaan terhadap harta benda. Dia tidak mau “menghabisi” orang-orang yang tidak sepaham dengannya, dengan menghalalkan segala cara. Ia berpolitik dengan kata-kata sopan dan sepantasnya tanpa menimbulkan ketersinggungan pribadi. Di gedung DPR pada tahun 1950-an, Natsir duduk di kantin, ngobrol sambil minum kopi dan tertawa bersama Ketua PKI, D.N Aidit. Semua orang tahu, pendirian dan pandangan kedua tokoh itu ibarat bumi dengan langit, satu dengan lainnya hampir tidak ada titik temu.”
—Sabam Sirait, Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI)
B02513 | 922 HAK b | Perpustakaan STIQ Isy Karima (Rak 900) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain